Sabtu, 20 April 2013

TUGAS 2 ( HUKUM PERBURUHAN )


Alih Teknologi Hak Kekayaan Intelektual
Perkembangan ilmu pengetahunan dan teknologi telah menciptakan paradigma baru dalam konsepsi ekonomi, paradigma tersebut menjadikan pengetahuan sebagai landasan dalam pembangunan ekonomi (knowledge based economy). Dalam paradigma tersebut, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Untuk melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama dalam rangka industrialisasi, mutlak diperlukan teknologi. Dalam rangka pengembangan teknologi dan perlindungan penemuan-penemuan dibidang teknologi dipelukan pengaturan HKI dibidang paten. Salah satu aspek positif dari paten yaitu untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang muncul dari publikasi dan aplikasi paten.
Dalam perkembangan saat ini, negara-negara maju cendrung proteksionis untuk memberikan perlindungan hak atas paten. Sikap proteksionis dari negara-negara maju muncul setelah adanya kebijakan dunia internasional tentang alih teknologi. Teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju telah menarik perhatian negara-negara berkembang untuk dapat mengambil alih, tetapi tentunya pengambilalihan tersebut harus tetap memperhatikan aspek hukum yang berkenaan dengan proses pengambilalihannya.
Sejak beberapa dasawarsa yang lalu, negara berkembang, termasuk Indonesia semakin gencar berusaha menarik investor asing, guna memperoleh modal dan kesempatan memanfaatkan alih teknologi. Salah satu langkah strategis yang dilakukan Indonesia untuk mengundang investor masuk ke Indonesia dalam rangka alih teknologi adalah dengan meningkatkan perlindungan paten terhadap penemuan teknologi.
Dengan meningkatnya perlindungan paten terhadap penemuan teknologi, maka investasipun semakin berkembang. Namun hadirnya multinational enterprise (MNE) di-era perdangan bebas dengan membawa modal besar dan teknologi maju yang dilindungi paten telah menimbulkan kontroversi antara tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan teknologi atau justru menciptakan jurang kesenjangan dan ketergantungan antara negara maju dan berkembang. Munculnya berbagai konflik antara negara maju dan negara berkembang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, khususnya dalam kepentingan teknologi dan kepentingan ekonomi. Untuk melindungi kepentingan nasional, sudah seharusnya Indonesia memiliki seperangkat peraturan yang dapat mengakomodasi perlindungan hukum terhadap konflik kepentingan yang muncul dalam alih teknologi.
Dengan maraknya era perdagangan bebas yang berbasis teknologi tinggi dan modal yang kuat, maka persaingan dan konflik paten juga bermunculan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka perlu ada kajian tentang pengaturan alih teknologi dibidang paten dalam era perdagangan bebas di Indonesia.

Alih Teknologi Paten Dalam Era Perdagangan Bebas
Dalam rangka berpartisipasi aktif dalam perdagangan bebas dan globalisasi industri, peran teknologi sangat diharapkan dalam menunjang pembangunan ekonomi di Indonesia. Bila melihat sistem ekonomi Indonesia, maka secara normatif sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan, namun pada perkembangannya, saat ini sistem ekonomi Indonesia mulai bergeser menuju sistem ekonomi kapitalis, seiring dengan ikut sertanya Indonesia menjadi anggota WTO.
WTO mempunyai misi untuk meliberalisasi perdagangan dunia. Liberalisasi perdagangan dunia terfokus pada penurunan dan peniadaan tariff. Sampai saat ini WTO sebagai oraganisasi perdagangan dunia belum menampakkan peran nyata dalam menata perekonomian yang adil dan sejahtera. Perdagangan bebas sebagaimana yang dikehendaki oleh WTO umumnya lebih menguntungkan negara maju, aturan-aturannya lebih banyak yang menguntungkan negara industri daripada negara berkembang. Sepanjang menyangkut negara maju, perbedaan teknologi yang jauh akan sangat berpengaruh terhadap perdagangan internasional, dengan menampilkan teknologi yang canggih, negara maju akan mendapatkan reputasi internasional dalam perdangan demi mencari dukungan ekonomi dan politik dunia. Dalam era-perdangan bebas, pemanfaatan teknologi lebih difokuskan pada kekayaan intelektual sebagai alat untuk menjamin monopoli dan akses pasar.
Dalam Pasal 1 Ketentuan Umum UU No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan teknologi adalah “cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia”, sedangkan yang dimaksud dengan alih teknologi dalam undang-undang tersebut adalah “pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya”
Kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi paling penting. Sebagaimana diungkapkan oleh Todaro, ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu:
  1. Kemajuan teknologi yang bersifat netral
  2. Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerjaKemajuan teknologi yang hemat modal
Berdasarkan ketiga kliasifikasi tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa kemajuan teknologi saling mendukung dengan kemajuan ekonomi, yaitu dengan berkembangnya investasi maka akan meningkatkan kualitas SDM dan kuantitas SDA melalui pemberdayaan penemuan-penemuan baru serta inovasi teknologi canggih. Perkembangan teknologi merupakan pijakan dasar bagi suatu negara untuk menyambut era global yang penuh persaingan.
Alih teknologi dari suatu negara ke negara lain, umumnya dari negara maju ke negara berkembang dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis bantuan teknologi yang dibutuhkan untuk suatu proyek. Teknologi dapat dipindahkan melalui cara sebagai berikut:
  1. Memperkerjakan tenaga-tenaga ahli asing perorangan. Dengan cara ini negara berkembang bisa dengan mudah mendapatkan teknologi, yang berupa teknik dan proses manufacturing yang tidak dipatenkan. Cara ini hanya cocok untuk industri kecil dan menengah.
  2. Menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan alat equipment lainnya. Suplai ini dapat dilakukan dengan kontrak tersendiri.
  3. Perjanjian lisensi dalam teknologi, si pemilik teknologi dapat memberikan hak nya kepada setiap orang/badan untuk melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi.
  4. Expertisi dan bantuan teknologi. Keahlian dan bantuan dapat berupa:
  • Studi pre-investasi.
  • Basic pre-ingeenering.
  • Spesifikasi masin-mesin.
  • Pemasangan dan menja1ankan mesin-mesin.
  • Manajemen
Alih Teknologi dan HKI sangat berkaitan erat. Hubungan alih teknologi dan perlindungan HKI terdapat pada Trips Agrement Pasal 7 a.1. yang menentukan: “perlindungan HKI harus memberi sumbangan pada usaha pendorong penemuan teknologi dan alih teknologi, berdasarkan keuntungan timbal balik antara pemilik dan pengetahuan teknologi dan dalam situasi yang kondusif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomis, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban”.
Salah satu bidang HKI yang terkait langsung dengan teknologi adalah paten. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir 1 Ketentuan Umum UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang dimaksud dengan Paten adalah “hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas hasil Invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”, sedangkan dalam butir 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Invensi adalah “ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses”.
Di dalam teknologi terkandung kekuatan, baik ekonomi, politik maupun sosial yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis bagi pemiliknya. Perusahaan pemilik teknologi berpaten menguasai monopoli atas penggunaan teknologi tersebut, sehingga mereka dapat mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi negara yang dimasukinya.
Masalah pemanfaatan teknologi canggih yang dilindungi paten di negara berkembang juga menjadi kontroversi, yaitu bagi MNE yang demi meraih keuntungan sebasar-besarnya, mereka mendayagunakan paten dengan memadukan faktor-faktor produksi murah dan dominasi teknologi riset&devolepment (R&D) tetap di negara asal, sedangkan negara berkembang yang mengharapkan penyebaran teknologi melalui MNE hanya menjadi penonton atau operator mesin saja. Paten atas teknologi maju telah membawa pemiliknya yaitu MNE menjadi kapitalis baru, tidak hanya bermodalkan uang, melainkan kekayaan intelektual memainkan peran penting untuk menguasai pasar internasional.
Secara internsional ada 3 fase alih teknologi, yaitu: transfer material, transfer rancang bangun, dan alih kemampuan. Pada kenyataannya, fase-fase alih teknologi tersebut hanya menjadikan pekerja Indonesia sebagai operator saja, bahkan terjadi ketergantungan teknologi, baik bahan baku, maupun mesin. Pada fase alih kemampuan sebenarnya diharapkan dapat membuat perbaikan dan diversifikasi produk, namun motivasi profit oriented perusahaan asing dan domestik serta adanya klausula-klausula yang membatasi lisensi menjadi penghalang kemajuan teknologi maupun untuk mendapatkan paten atas teknologi improvement.
Pengembangan teknologi sangat penting dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, demikian juga perubahan teknologi yang semakin maju dapat menjadi sarana perubahan menuju tingkat perekonomian yang lebih maju. Untuk menguasai pasar, teknologi tersebut harus dijaga dan dilindungi dengan pemilikan paten serta kontrol yang ketat.
Dari sudut pandang ekonomi internasional, peranan paten atas teknologi maju sangat penting dalam penanaman modal MNE dan hubungannya dengan perdangan bebas. Paten selain dibawa dengan joint venture maupun direct investment (penanaman modal asing) juga dapat diperoleh melalui transaksi paten, yaitu lisensi paten. Lisensi dapat bersifat ekslusif, non-ekslusif, paket lisensi, dan lisensi wajib. Dengan terjadinya perjanjian lisensi (licensee) domestic, maka hak pemanfaatan secara ekonomis atas paten berpindah. Dengan demikian, batas perlindungan paten atau monopoli penggunaannya juga beralih kepada licensee, yaitu untuk membuat, menjual, dan memanfaatkan sebagaimana telah diatur dalam UU Paten. Dalam praktiknya, banyak klausula dalam perjanjian lisensi yang merugikan pihak licensee dari segi ekonomi maupun teknologi. Dalam klausula paten banyak ditemukan restrictive bussines practice, tie-in, grant black, yang tentunya akan menhambat kemajuan perekonomian dan teknologi.
Dari pengalaman negara maju, diketahui bahwa negara-negara industri menyebarkan hukum intelektual mereka setalah mencapai level teknologi tinggi dan produksi untuk peningkatan ekonomi. Hukum kekayaan intelektual mereka dibuat untuk menjamin perlindungan terhadap pemilikan teknologi serta pemasaran produknya. Secara logis, apabila negara berkembang ingin mengadakan perjanjian alih teknologi dengan negara maju, maka negara berkembang harus menjamin perlindungan yang sama dengan negara maju. Selain itu, klausula-klausula yang bersifat menguntungkan negara maju sangat mungkin terjadi berdasarkan keinginan dan tujuan mereka untuk menguasai pasar global dengan jaminan kemanan teknologi berpatennya dan keuntungan ekonomis sebanyak-banyaknya.
Menurut Goans sistem paten yang kuat dapat menciptakan iklim yang mendorong industri untuk menginvestasikan dan mengalihkan teknologi baru di negara berkembang. Dari sudut pandang kepentingan teknologi, apabila perlindungan terlalu luas, maka tidak akan terjadi pengembangan teknologi karena modifikasi sebesar apa pun akan dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Sebaliknya, bila perlindungan paten diberikan terlalu sempit, maka akan merugikan pihak patentee, karena akan muncul banyak penemuan dengan teknologi yang mirip-mirip dan kemungkinan memperoleh paten relatif lebih mudah.
Masalah perlindungan dan pengalihan teknologi melalui sistem paten telah menjadi perhatian dunia internasional, terutama bagi negara-negara berkembang yang kemajuan teknologinya jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Perlindungan hukum dan pengalihan teknologi dalam sistem paten pertama kali dikemukan dalam forum internasional oleh Brazilia di sidang umum PBB pada bulan November 1961, yang mengajukan usul resolusi dengan judul “The Role of Paten in the Transfer of Teknologi to bundle development Countries” (peran paten dalam alih teknologi ke negara-negara berkembang). Di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan masalah alih teknologi melalui sistem paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten. Dengan adanya pengaturan alih teknologi dalam UU Paten diharapkan dapat merangsang masuknya inventor asing ke Indonesia serta memberikan kemudahan transfer teknologi dari negara maju ke Indonesia.
Salah satu masalah alih teknologi melalui sistem paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 adalah kedudukan paten-paten asing yang didaftarkan di Indonesia. UU No. 14 Tahun 2001 tidak saja memberikan perlindungan hukum terhadap paten-paten yang dimiliki oleh orang Indonesia (paten nasional), tetapi juga memberikan kesempatan kepada warga negara asing untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap patennya di Indonesia. Hal ini merupakan konskwensi dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Paris. Terbukanya kesempatan bagi warga negara asing untuk memperoleh perlindungan terhadap patennya diatur dalam pasal 26, 27, dan 29 UU No. 14 Tahun 2001.
Dalam rangka alih teknologi, Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2001 mengamantkan pemegang paten asing yang mendapatkan perlindungan di Indonesia wajib melaksanakan patennya di wilayah Negara Republik Indonesia. Kemudian pasal 75 menyebutkan apabila dalam jangka waktu 3 tahun paten tersebut tidak dilaksanakan, maka Dirjen HKI dapat melaksanakan lisensi wajib.
UU No. 14 tahun 2001 juga mengatur pembatasan pada bagian lisensi (khususnya Pasal 71) yang intinya menyatakan bahwa perjanjian lisensi tidak boleh berisi ketentuan-ketentuan yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan pengaruh yang merugikan perekonomian Indonesia atau pembatasan tertentu yang mengahalangi kemampuan bangsa Indonesia untuk menguasai dan mengembangkan teknologi yang berkaitan dengan temuan yang telah dipatenkan. Walaupun Pasal 71 UU No. 14 Tahun 2001 telah mengatur larangan-larangan dalam perjanjian lisensi, namun baik dalam pasal maupun dalam penjelasannya, Pasal 71 tersebut belum memberikan pengertian yang jelas mengenai tiga macam larangan-larangan yang diatur dalam pasal tersebut.
Dalam ketentuan Pasal 72 UU No. 14 Tahun 2001 disebutkan bahwa:
  1. Perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya
  2. Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatat di Direktorat Jendral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Ketentuan pidana dalam UU No. 14 tahun 2001 tidak menyatakan pelanggaran terhadap Pasal 72 ini merupakan tindak pidana, sehingga dapat dilihat bahwa kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian lisensi hanya sekedar anjuran saja, sehingga tidak jelas arah dan tujuannya. Jika kemudian pemerintah memilih hak lisensi yang perjanjiannya tidak didftarkan tersebut tidak diperkenankan untuk dilaksanakan di Indonesia maka hal ini justru akan menghambat arus modal asing.
Di India, alih teknologi dipandang sebagai proses aliran kekayaan dari luar negeri ke India, sehingga masalah alih teknologi diatur dalam Foreign Exchange Regulation Act. Di Malaysia, alih teknologi dikaitkan dengan kegiatan penanaman modal sehingga diatur secara khusus dalam UU insentif dan UU penanaman modal, bahkan di Argentina pengaturannya menggunakan UUPMA dan UU alih teknologi. Saat ini masalah alih teknologi lebih difokuskan pada persaingan global dan monopoli serta kekayaan intelektual meskipun masih dalam kerangka permasalahan penanaman modal asing dan kualitas SDM. Pengalaman Korea lebih mefokuskan alih teknologi pada hukum kontrak, yang dimaksudkan untuk lebih menjamin kedudukan pihak lisensi.
Di Indonesia pengaturan alih teknologi dibidang paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001. UU No. 14 Tahun 2001 merupakan wujud komitmen Indonesia karena telah meratifikasi TRIPs. Sejarah terbentuknya TRIPs dilandasi keinginan negara industri kapitalis untuk menguasai pasar ekonomi dunia dengan memaksakan berlakunya aturan standar hak kekayaan intelektual di negara berkembang. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjamin perlindungan intellectual property-nya serta dapat menjamin keamanan berinvestasi. Hingga saat ini, Indonesia belum mempunyai strategi yang mantap untuk alih teknologi dengan menyediakan perangkat perundangan yang khusus mengatur strategi nasional dalam pengalihan teknologi dan peraturan operasionalnya. UU No. 14 Tahun 2001 memang telah memberikan perlindungan terhadap penemuan di bidang teknologi dan lisensi, namun demikian, penegakan hukum serta perangkat hukum di bawahnya masih perlu disediakan dan di efektifkan melalui pengaturan secara khusus tentang alih teknologi.
Hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan perlindungan terhadap perkembangan baru, untuk itu alih teknologi harus segera diatur menurut hukum Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio-ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi dari barang dan jasa dalam sektor industri dan memasukkan teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan harga yang menguntungkan bagi kepentingan nasional. Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pengembangan teknologi baru di Indonesia.
Kesimpulan
Pengaturan alih teknologi dibidang paten dalam era perdagangan bebas di Indonesia sampai saat ini belum terakomodasi dalam perangkat peraturan perundang-undangan yang secara khusus dapat mengatur strategi nasional dalam pengalihan teknologi, padahal teknologi dan perlindungannya dalam hukum paten berperan sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Masalah-masalah yang terkait dengan alih teknologi di Indonesia memang telah diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, namun pada tataran implentasinya UU No. 14 Tahun 2001 belum mampu mengakomodasi dan memberikan perlindungan dan keuntungan dalam pemanfaatan alih teknologi.
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar